SENSITIVE

admin 02/01/2019 2
SENSITIVE

Sensitive

Oleh: Eka Wartana

Mobil dilengkapi dengan alarm. Tujuannya untuk melindunginya dari maling. Hasilnya akan berbeda bila alarm di setel terlalu sensitive. Kucing lewatpun membuat alarm berbunyi. Alarm yang super sensitive bahkan lebih parah lagi: nyamuk nempelpun mampu membunyikannya.

Rupanya tidak berbeda dengan manusia. Banyak yang salah setel menjadikan dirinya sensitive atau bahkan super sensitive. Sepertinya trend dari sensitivity semakin tinggi belakangan ini. Apakah itu akibat dari kemajuan teknologi dan media social?

Pesan yang tak terjawab atau terlambat dijawab, membuat teman kecewa dan marah. Ada yang langsung ngeblock HP temannya itu. Padahal pemblockir itu belum mendengar penjelasan temannya. Bisa jadi temannya sedang sibuk. Bisa jadi HP nya sedang bermasalah. Tapi keputusan (yang salah) sudah dibuat.

Tsunami informasi (istilah yang saya pakai dalam artikel saya, Information Tsunami: https://mindwebway.com/?p=1015 ), yang terjadi belakangan ini, membuat orang kewalahan membaca pesan yang masuk, apalagi membalas semua pesan yang ada. Banyak sekali hal hal sepele berseliweran yang mengakibatkan pesan pesan penting malah terlewatkan.

Body and Mind (Soul-nya menyusul ya….)
Bagian tubuh manusia ada yang sensitive, begitu tersentuh, langsung beraksi (G-spot misalnya). Kulit manusia juga ada yang sensitive, begitu kena panas langsung memerah.

Perasaan manusia juga sama, ada yang sensitive ada yang ‘badak’. Semuanya berawal dari pikirannya. Pikiran negative menerjemahkan candaan sebagai hinaan, pujian sebagai sindiran, feedback sebagai setback.

Dampak lanjutnya:
• Merusak komunikasi dan hubungan dengan teman.
• Pikiran yang negative memengaruhi kondisi fisik, menjadi sumber penyakit fisik dan psikologis.
• Mengganggu kenyamanan hidup.

Korban
Orang yang terlalu sensitive menjadikan dirinya sebagai korban. (Mau bersaing dengan sapi korban?). Itu lho seperti para politisi yang suka “playing victim”, untuk menarik simpati public. Tapi dalam hubungan antar manusia, terlalu sensitive malah mengundang antipati . Orang yang baper (bawa perasaan) malah menjadi koper (korban perasaan)- nya sendiri.

Kenapa ya orang lebih suka menjadi ‘kuda’ daripada ‘kusir’? Lebih suka dikendalikan oleh situasi daripada mengendalikan situasi? Lebih cenderung dikuasai oleh emosinya dan mengabaikan logikanya?

Harga Diri
Orang yang sensitive seringkali merasa harga dirinya dijatuhkan orang lain. Dia biarkan orang lain yang mengatur “harga diri”nya. Dan dia yang mengobral (men-diskon) “harga dirinya” sendiri (bersaing dengan supermarket?). Kontradiksinya, dia sendiri merasa harga dirinya begitu tinggi, jauh lebih tinggi dari Monas.

Harga dirinya goyah karena terjadinya ketidakseimbangan antara emosi dan rasionya. Beberapa pelajar di Jepang bunuh diri karena malu dengan hasil ujiannya. Tragis, bukan?

Tersinggung
Orang yang sensitive mudah tersinggung. (Mestinya dia perlu sering sering ke pasar senggol ya, biar tak tersinggung tatkala di senggol…..?). Kasihan sekali orang ini ya, hidupnya tidak pernah nyaman……

Belum lama ini nomor HP saya di blok oleh seseorang yang sebetulnya cukup dekat. Sebabnya sepele: saya belum membalas pesan WA-nya. Orang megalomania seringkali menilai hal sepele begitu tinggi, bila menyangkut dirinya. Sakit hatikah saya? Sama sekali tidak! Mengapa menjadikan diri korban, padahal korban sesungguhnya adalah orang lain. (dia korban emosinya sendiri). Korban adalah orang yang dikendalikan oleh situasi (termasuk situasi emosinya).

Orang yang tersinggung bisa merespon dengan cara berbeda:
Ada yang langsung marah dan bersikap aggressive. Bisa dengan lisan, tulisan ataupun via medsos. Ada yang langsung mendamprat sumber ketersinggungannya, ada yang tidak langsung, bahkan ada yang mengambil jalur hukum.

Ada yang bersikap assertive. Dia langsung menyampaikan reaksinya dengan jelas, tanpa menunjukkan rasa amarah, tapi tegas.

Ada yang passive. Dia tidak bereaksi dan menelan semuanya di dalam dirinya. Alasan dari sikapnya ini bisa jadi: tidak berani, segan.

Tiga respons itu yang biasa disebutkan orang. Saya ingin menambahkan dua jenis reaksi lagi:
1. Big Heart (Berjiwa besar). Menerimanya sebagai pembelajaran dan memaafkan orang yang membuat dia tersinggung tanpa menyimpan rasa sakit hati dan tanpa niat untuk membalas.

2. Awareness (Kesadaran). Melakukan pendekatan kepada orang itu secara langsung ataupun tidak langsung dan berusaha menyadarkannya dengan memberikan informasi yang meyakinkan.

Nah, cara menyadarkan inilah yang saya sebut sebagai diplomatic-assertive. Ada pengalaman nyata tentang hal ini yang saya uraikan di dalam buku Berpikir Tanpa Mikir dengan topik: Dari Masalah menjadi Berkah (hal. 132). Boss bule yang tadinya marah dan memberikan surat teguran, akhirnya menyadari kesalahannya dan salut terhadap saya. Dan beliau tidak merasa tersinggung sama sekali. Situasinya: win-win. Malah, ‘win’ saya lebih banyak…..

Mengurangi Sensitivitas
Beberapa saran untuk mengurangi perasaan yang sensitive:
Hindari focus pada sisi negativenya saja. Ini hanya mengarahkan kita pada orientasi problem dan melupakan solusinya. Kalau mata kita salah fokus, semuanya nampak kabur dan hal hal baikpun akan ikut kabur (lari).
Coba melihatnya dari sisi lain (Reframing). Siapa tahu banyak hal hal baik yang tersembunyi dibalik komentar dan masukan orang lain yang terasa menyakitkan. Siapa tahu ada cara-cara lain yang bisa dipakai untuk mengatasinya.
Meningkatkan kadar logika kita untuk menyeimbangkan emosi yang tadinya menguasai. Reaksi tanpa logika: ngawur.
Berusaha untuk mengerti orang lain dengan lebih baik, meningkatkan kecerdasan emosional kita. Pengertian akan meningkatkan ‘arti’.
Memaafkan. Apapun kasusnya, maafkan saja. Ngapain kita menyimpan sampah emosi seumur hidup? Bisa jadi teman kita itu tidak bermaksud membuat kita tersinggung, malah sebaliknya ingin memberikan masukan yang membangun. Kita begitu sering mohon ampun kepada Tuhan, tetapi begitu berat memaafkan orang lain?
“Ketika emosi berkuasa, maka saat itulah logika binasa” (The MindWeb Way)

Salam Berpikir Tanpa Mikir,
Eka Wartana

Founder The MindWeb Way of Thinking
Author: Berpikir Tanpa Mikir, MindWeb (English & Indonesia edition), To Think Without Thinking (English edition)
Professional Licensed Trainer (MWS International) with 33 years managerial experience in well- known companies.

www,mindwebway.com

#mindweb #mindwebway #berpikirtanpamikir #ekawartana #sensitive #emosi #logika #tersinggung #reframing #diplomaticassertive #informasitsunami #hargadiri #

2 Comments »

  1. Rusman Hakim 06/01/2019 at 2:25 pm - Reply

    Keren pak Eka..keep sharing..

    • admin 28/01/2019 at 3:13 pm - Reply

      Thank you Pak Rusman.

Leave A Response »